Rabu, 17 Juni 2009

KURIKULUM TERSEMBUNYI

KURIKULUM TERSEMBUNYI

Oleh. Wahidmurni

A. Pendahuluan

Dalam dunia pendidikan, guru mempunyai peranan yang sangat penting; ia mempunyai peran sebagai orang tua kedua bagi para peserta didik, setelah orang tua mereka. Hal ini dikarenakan waktu peserta didik banyak dihabiskan di sekolah/madrasah setelah mereka banyak menghabiskan waktu di lingkungan keluarga. Pada kesempatan lain mungkin peran guru dapat menempati posisi utama oleh karena tuntutan kehidupan menuntut orang tua meninggalkan rumah atau keluarga dengan alasan memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Lebih-lebih pada sekolah/madrasah yang menerapkan model pendidikan full day school.

Oleh karena posisinya yang demikian menuntut guru di samping harus professional dalam bidang keilmuan dan pengajaran, ia dituntut dapat mengambil peran mereka sebagai pendidik dalam artian melaksanakan pekerjaan mendidik (bukan sekedar mengajar yang hanya dimaknai sebagai kewajiban mengajar di dalam kelas yang dibatasi oleh suatu ukuran kuantitas, misalnya 24 jam pelajaran setiap minggunya), namun lebih dari itu yakni dapat menjadikan peserta didik memiliki moral atau kepribadian yang baik, di samping menguasai ilmu yang dipelajari.

Hal demikian sesungguhnya telah dinyatakan dalam sebuah hadits bahwa “anak-anak yang dilahirkan oleh ibu itu bersih seperti kapas, maka terpulanglah kepada ibu bapaknya untuk menjadikan mereka menjadi Yahudi, Nasrani, Majusi atau Islam. Oleh karena itu sesungguhnya tugas dan tanggungjawab orang tua adalah berat, karena merekalah turut menentukan hitam putihnya (coretan-coretan) lembaran kertas (kapas) itu. Situasi yang sama juga berlaku pada para guru, sebagai pengganti orang tua di sekolah ia juga harus bertanggung jawab dalam proses pembentukan diri seorang peserta didik.

Proses pembentukan pribadi seorang peserta didik yang dilakukan oleh guru sebenarnya sudah dan dapat dilakukan sesuai dengan arah dan tujuan program pendidikan yang telah dijabarkan dalam kurikulum. Oleh karena itu keberhasilan dan kegagalan guru dalam menterjemahkan, merancang dan mengembangkan program pembelajaran akan sangat menentukan proses pembentukan kepribadian peserta didik. Lebih-lebih dalam kurikulum 2006 yang disebut dengan KTSP secara tersurat mengungkapkan prinsip pelaksanaan kurikulum bahwa “pelaksanaan kurikulum memungkinkan peserta didik mendapat pelayanan yang bersifat perbaikan, pengayaan, dan/atau percepatan sesuai dengan potensi, tahap perkembangan, dan kondisi peserta didik dengan tetap memperhatikan keterpaduan pengembangan pribadi peserta didik yang berdimensi ke-Tuhanan, keindividuan, kesosialan, dan moral” (Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006).

Dalam konteks demikian, sebagai pendidik, guru mata pelajaran apapun dituntut menanamkan atau menginternalisasikan nilai-nilai moral yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari di samping tetap menjalankan tugasnya sebagai pengajar. Guru sebagai pengajar seringkali hanya dimaknai sebagai sebagai penyampai isi kurikulum. Masalah moral (aspek afektif) seringkali hanya dibebankan pada guru tertentu, misalnya guru mata pelajaran Agama dan guru mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan; sedangkan guru mata pelajaran lain bertugas untuk menyampaikan masalah isi ilmu masing-masing mata pelajaran (aspek kognitif) dan ketrampilan (aspek psikomotor). Dengan demikian, jika terjadi masalah kegagalan moral anak (siswa) seringkali yang menjadi tudingan kesalahan adalah guru yang mengajar mata pelajaran Agama dan guru mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.

.....

B. Hakikat Kurikulum Tersembunyi

Terdapat dua terminologi mengenai kurikulum, yakni terminologi kurikulum eksplisit (tertulis) dan implisit (tidak tertulis) atau kurikulum tersembunyi (hidden curriculum). Apa yang kita bahas sebelumnya lebih banyak terkait dengan kurikulum yang bersifat tertulis; yakni sebuah upaya pecapaian tujuan pendidikan dengan berbagai aktivitasnya yang telah didokumentasikan (direncanakan) dengan baik. Sementara itu, untuk pencapaian tujuan pendidikan terdapat hal-hal yang tidak terdokumentasikan/direncanakan/diprogramkan atau sifatnya tidak tertulis dan hal ini sangat berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pendidikan itu sendiri, hal-hal inilah yang disebut dengan kurikulum tersembunyi.

Hal demikian sebagaimana yang diungkapkan oleh Dewey (dalam Marsh dan Willis, 1999:9) bahwa kurikulum adalah seluruh pengalaman yang dimiliki oleh para peserta didik di bawah bimbingan pihak sekolah, baik pengalaman yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan. Sejumlah pengalaman yang kita kenal dengan hidden curriculum atau kurikulum tersembunyi merupakan pengalaman yang tidak direncanakan/diprogramkan seperti mematuhi peraturan-peraturan sekolah, menjalankan ritual/acara keagamaan, mematuhi peraturan-peraturan lainnya.

Razali (2008) menyebut kurikulum tersembunyi “kerana aktiviti yang terlibat di dalam kurikulum ini tidak berstruktur, atau dengan kata lain tidak dirancang. Kebanyakan aktiviti kurikulum jenis ini berlaku di tempat pertemuan pelajar seperti pusat sukan, asrama, kantin, perpustakaan. Kurikulum tersembunyi ini dikenali sebagai soft skils atau kemahiran insaniah. Elemen-elemen di dalam kurikulum ini dizahirkan dan mempunyai suatu sistem dan struktur yang sistematis dan professional. Antara nilai atau kualiti yang dikategorikan sebagai kemahiran insaniah di sini adalah kualiti kepemimpinan, kualiti pembuatan keputusan dan penyelesaian masalah, kualiti daya pembelajaran, kualiti diri murni (tepat masa, hadir ke kelas, hantar tugasan tepat janji dan lain-lain) dan kualiti kerja berpasukan”.

Pelaksanaan kurikulum tersembunyi dalam KTSP dapat digolongkan dalam aktivitas pengembangan diri yang pelaksanaannya tidak terprogram. Dalam panduan KTSP untuk pengembangan diri tentang bentuk-bentuk pelaksanaan pengembangan diri dinyatakan bahwa,

Bentuk-bentuk pelaksanaan pengembangan diri mencakup:

  1. Kegiatan pengembangan diri secara terprogram dilaksanakan dengan perencanaan khusus dalam kurun waktu tertentu untuk memenuhi kebutuhan peserta didik secara individual, kelompok dan atau klasikal melalui penyelenggaraan: (a) layanan dan kegiatan pendukung konseling, dan (b) kegiatan ekstra kurikuler;
  2. Kegiatan pengembangan diri secara tidak terprogram dapat dilaksanakan sebagai berikut, (a) rutin, yaitu kegiatan yang dilakukan terjadwal, seperti: upacara bendera, senam, ibadah khusus keagamaan bersama, keberaturan, pemeliharaan kebersihan dan kesehatan diri; (b) spontan, adalah kegiatan yang tidak terjadwal dalam kejadian khusus seperti: pembentukan perilaku memberi salam, membuang sampah pada tempatnya, antri, mengatasi silang pendapat (pertengkaran); dan (c) keteladan, adalah kegiatan dalam bentuk perilaku sehari-hari seperti: berpakaian rapi, berbahasa yang baik, rajin membaca, memuji kebaikan dan atau keberhasilan orang lain, datang tepat waktu (Tim Pustaka Yustisia, 2007:208).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar